Makassar — Konflik kepemilikan tanah di wilayah Metro Tanjung kembali memanas setelah pihak ahli waris Daeng Lapang/Daeng Asih menegaskan bahwa lahan yang saat ini dipersoalkan adalah milik sah keluarga mereka, berdasarkan putusan pengadilan tahun 2002 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Pihak ahli waris menilai munculnya klaim dari Meikawati Bunadi dan keluarganya merupakan tindakan yang mereka anggap sebagai upaya penguasaan lahan yang tidak berdasar.
Ahli Waris: Putusan Pengadilan Tahun 2002 Sudah Final, Tanah Sah Milik Daeng Lapang
Anak dari Daeng Lapang/Daeng Asih menuturkan bahwa seluruh proses hukum terkait tanah tersebut telah tuntas dua dekade lalu, dan menghasilkan kemenangan penuh bagi pihak keluarganya.
“Putusan pengadilan tahun 2002 sudah inkracht. Tanah itu jelas milik orang tua kami. Tapi anehnya, kehadiran kami di lahan sendiri justru seolah-olah dianggap melakukan penyerobotan,” tegas anak Daeng Lapang.
Ia menilai narasi yang dibangun oleh pihak Meikawati Bunadi beserta keluarganya telah menciptakan kesan seakan ahli waris tidak memiliki hak, padahal bukti legal justru menunjukkan sebaliknya.
Laporan Meikawati Terhadap Koptu Jafran Dinilai Tidak Beralasan
Ketegangan semakin meningkat setelah Meikawati Bunadi melaporkan Koptu Jafran, menantu Daeng Lapang/Daeng Asih sekaligus ahli waris tanah tersebut, ke Polisi Militer Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin terkait dugaan penyerobotan lahan.
Pihak keluarga menyebut laporan tersebut sebagai tindakan yang mengaburkan fakta yang sudah jelas.
“Koptu Jafran datang sebagai ahli waris, bukan menyerobot. Yang dilaporkan justru pemilik sah tanah berdasarkan putusan pengadilan,” ujar keluarga dengan nada kecewa.
Transaksi 2012 Dipertanyakan: Mahmud bin Juseng Jual Tanah yang Sudah Bersertifikat Inkracht
Sumber konflik semakin terang setelah dijelaskan bahwa pihak Samsul Bunadi—ayah dari Meikawati—membeli tanah dari Mahmud bin Juseng pada tahun 2012.
Namun, ahli waris Daeng Lapang/Daeng Asih menegaskan bahwa tanah yang dijual pada tahun tersebut merupakan lahan yang sejak lama sudah dimenangkan oleh Daeng Lapang melalui proses peradilan, sehingga secara hukum tidak dapat diperjualbelikan lagi oleh pihak lain.
“Bagaimana mungkin tanah yang sudah berkekuatan hukum tetap untuk keluarga kami dijual kembali pada tahun 2012? Ini yang harus diperjelas,” kata ahli waris.
Rumah Warisan dari Tahun 1952 Ikut Diklaim: Ahli Waris Menilai Klaim Semakin Aneh
Kejanggalan lain yang disoroti adalah masuknya rumah tinggal keluarga Daeng Lapang/Daeng Asih—yang dikuasai sejak tahun 1952—ke dalam klaim lahan Samsul Bunadi.
Pihak ahli waris menyebut hal itu sebagai tindakan yang tidak masuk akal, sebab rumah tersebut telah ditempati turun-temurun jauh sebelum transaksi 2012 antara Mahmud bin Juseng dan Samsul Bunadi terjadi.
“Rumah yang kami tinggali sejak 1952 pun tiba-tiba dimasukkan dalam klaim mereka. Padahal transaksi mereka baru terjadi tahun 2012. Ini sangat tidak logis,” ujar keluarga.
Ahli Waris Minta Samsul Bunadi Menunjukkan Lokasi Tanah yang Dibeli
Pihak ahli waris Daeng Lapang/Daeng Asih dengan tegas meminta agar pihak Samsul Bunadi menunjukkan dengan jelas lokasi tanah yang dibeli dari Mahmud bin Juseng, karena menurut mereka letak tanah tersebut tidak pernah berada di wilayah yang kini sedang disengketakan.
Selain itu, mereka juga meminta kejelasan dari pihak Mahmud bin Juseng (alm.) mengenai lahan mana yang sebenarnya ia jual, karena menurut keluarga Daeng Lapang, tanah yang saat ini diklaim jelas bukan bagian dari tanah yang mungkin dijual oleh Mahmud.
“Kami meminta pihak Samsul Bunadi memperlihatkan titik tanah yang dia beli. Jangan mengklaim tanah kami yang sudah inkracht. Kalau Mahmud (alm.) memang menjual tanah, tunjukkan lokasinya. Jangan ambil hak orang,” tegas pihak ahli waris.
Ahli Waris Siap Tempuh Jalur Hukum dan Minta Aparat Bertindak Objektif
Menghadapi eskalasi konflik dan laporan yang dilayangkan ke aparat, pihak keluarga Daeng Lapang/Daeng Asih menyatakan siap menempuh jalur hukum untuk mempertahankan hak yang telah mereka menangkan secara sah sejak tahun 2002.
Mereka juga berharap aparat dapat bersikap profesional dan objektif dalam menangani sengketa ini, mengingat banyak kejanggalan dalam klaim yang diajukan pihak Samsul Bunadi dan Meikawati Bunadi.

























