Makassar— Konflik sengketa lahan di kawasan Metro Tanjung kembali memanas setelah keluarga Asih Dg. Lapang, pemilik sah lahan berdasarkan putusan Pengadilan tahun 2002, menyoroti langkah Meikawati Bunadi yang diduga berupaya menguasai lokasi yang telah berstatus hukum tetap (inkrah).
Lahan yang disengketakan tersebut sejak lama diketahui sebagai milik Asih Dg. Lapang, dan telah dikuasai turun-temurun oleh keluarga. Putusan pengadilan tahun 2002 disebut telah menegaskan kepemilikan tersebut. Namun belakangan, muncul klaim baru dari Meikawati Bunadi, yang dinilai keluarga Asih sebagai upaya untuk mengambil alih tanah secara tidak sah.
Keluarga Asih: “Ini Hak Kami. Sudah Ada Putusan Pengadilan.”
Pihak keluarga Asih mengaku terkejut ketika Meikawati tiba-tiba melaporkan Koptu Jafran, menantu Asih dan salah satu ahli waris, ke pihak Polisi Militer Kodam XIV/Hasanuddin atas dugaan penyerobotan tanah. Padahal, menurut keluarga, Jafran berada di lokasi sebagai ahli waris dan pemegang hak sah.
> “Kami berdiri di atas tanah milik sendiri. Putusan pengadilan sudah ada sejak 2002 dan tidak pernah dibatalkan. Bagaimana mungkin ahli waris justru dituduh menyerobot tanahnya sendiri?” keluh salah satu anggota keluarga.
Laporan tersebut dinilai keluarga sebagai langkah yang tidak berdasar dan membuat situasi semakin tegang.
Dugaan Upaya Penguasaan Lahan oleh Meikawati
Keluarga menyoroti tindakan Meikawati yang dinilai agresif dan terkesan ingin menguasai lahan yang telah lama mereka miliki. Mereka menduga adanya motif tertentu di balik laporan terhadap Koptu Jafran, khususnya karena pelaporan dilakukan ke institusi militer meski objek sengketa adalah ranah perdata.
Menurut keluarga Asih Dg. Lapang, langkah itu menimbulkan kecurigaan:
Mengapa pelaporan dilakukan ke Polisi Militer padahal yang disengketakan adalah tanah keluarga?
Mengapa putusan pengadilan tahun 2002 tidak dihormati?
Mengapa ahli waris justru diposisikan seolah pelaku?
Mereka menilai pola ini patut dicermati karena berpotensi mengarah pada upaya penguasaan lahan yang tidak sah.
Ahli Waris Tak Terima Diposisikan Sebagai Tersangka
Koptu Jafran, sebagai menantu dan ahli waris, menegaskan bahwa dirinya berada di lokasi hanya untuk menjaga dan memastikan tanah keluarga tidak dikuasai pihak lain. Ia membantah keras tudingan penyerobotan.
> “Saya berada di lokasi keluarga saya. Tidak mungkin saya menyerobot tanah yang dari dulu dimiliki mertua saya, apalagi sudah ada putusan yang menguatkan. Saya hadir untuk melindungi hak keluarga, bukan untuk melanggar hukum,” tegas Jafran.
Keluarga menyebut laporan tersebut sebagai upaya membalikkan keadaan dan menekan ahli waris agar meninggalkan lahan.
Mendesak Aparat Menghormati Putusan Pengadilan
Pihak keluarga mendesak aparat penegak hukum, baik di tingkat militer maupun kepolisian, agar objektif dan mengacu pada putusan perdata yang telah inkrah.
Mereka menilai bahwa laporan terhadap Koptu Jafran tidak hanya merugikan nama baiknya sebagai anggota TNI, tetapi juga mengganggu ketentraman keluarga yang telah puluhan tahun menguasai lahan tersebut.
> “Kami hanya minta hak kami dihormati. Jangan sampai laporan-laporan seperti ini dipakai untuk memutarbalikkan fakta,” tegas keluarga.
Harapan Keluarga: Sengketa Diselesaikan Sesuai Aturan, Bukan Tekanan
Keluarga Asih berharap sengketa ini diselesaikan secara hukum yang benar, bukan melalui laporan-laporan yang dianggap tidak berdasar. Mereka meminta transparansi dan keadilan agar tidak ada pihak yang dirugikan oleh tindakan yang terindikasi memanfaatkan celah hukum.
Kasus ini kini mendapat sorotan publik setempat, terutama karena telah menyentuh institusi militer dan memunculkan dugaan adanya pihak yang mencoba menguasai lahan secara tidak sah.






















